Makalah Kepemimpinan Demokratis dan Abnormal

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Didalam literatur administrasi publik sering dijumpai istilah management yang merupkan inti dari administrasi, karena memang menurut Pamudji(1989), Siagian (2004), Keban (2006) dalam buku Harbani Pasolong (2011:107), mengatakan bahwa management merupakan alat pelaksana utama dari pada administrasi. Iatilh management diterjemahkan dalam “kepemimpinan”. Sedangkan pihak lain memakai istilah “tata pimpinan” selain itu ada juga tetap memaki istilah management (Indonesia).

Konsep “pemimpin” berasal dari kata asing “leader” dan “kepemimpinan” dari “leadership”. Sedangkan manajemen berasal dari kata management. Jadi antara kepemimpinan dan manajemen berbeda baik dari asal katanya maupun pengertiannya.

Inti daripada manajemen adalah menggerakan (actuating) dan inti daripada penggerakan aalah memimpin (leading). Siapa yang dapat menggerakkan orang-orang yang ada dibawah kekuasaannnya, berarti ia dapat menjalankan manajemen. Siapa yang dapat memimpin orang-orang yang ada dibawah kekuasaannya berarti ia dapat menggerakkan orang-orang itu.

 

Orang yang mempunyai tugas menggerakkan orang/orang-orang bawahannya sebaiknya memiliki sifat-sifat kepemimpinan (leadership) yakni mempunyai daya atau seni untuk menggerakkan orang-orang lain. Fungsi/tugas seorang pemimpin (leader) berbeda dengan fungsi/tugas seorang manajer. Tugas seorang manajer adalah lebih luas daripada tugas seorang leader.

Pemimpin harus dipilih oleh orang-orang yang diimpinnya, atau diangkat oleh kekuasaan atau instansi tertentu serta dapat diterima baik atau memperoleh pengakuan para anak buanya. Oleh karena ia diterima dengan baik oleh anak buah, maka ia dengan sendirinya menjadi satu dengan mereka, dan merupakan bagian dari anak buah itu dan ia bersedia untung bertanggung jawab terhadap mereka.

Keberhasilan seorang pemimpin banyak tergantung dari keberhasilannya dalam kegiatan komunikasi. Seseorang mungkin menjadi pemimpin tanpa punya pengikut. Lebih tinggi kedudukannya sebagai pemimpin, akan lebih banyak pengikutnya. Akan tetapi tak mungkinlah ia dapat menaiki anak tangga kepemimpinannya tanpa kemampuan membina hubungan komunikatif dengan pengikut-pengikutnya dan bakal pengikut-pengikutnya.

Didalam buku Kartono Kartini (1991:163) Kepimpinan ialah suatu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi; yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama.

 

Kepemimpinan tersebut juga berdasarkan pada (1) akseptansi/penerimaan oleh kelompok, dan (2) pemilikan keahlian khusus pada satu situasi khusus. Maka dalam iklim demokratis kita berkepentingan dengan kepemimpinan demokratis, demi pencapaian kesejahteraan dan keadilan yang lebih merata.

Namun kenyataan menunjukkan, bahwa dalam masyarakat modern yang banyak menonjolkan individualisme sekarang banyak terdapat orang sangat ambisius, bahkan paling ambisius untuk muncul menjadi pemimpin demi interest-interest pribadi. Orang yang teramat suka menonjolkan dan mengiklankan diri itu yang dengan segala upaya licik ingin menjabat kursi kepemimpinan, biasanya adalah tipe orang yang sakit atau abnormal. Maka dapat dinyatakan, bahwa banyaknya pemimpin abnormal (yang korup, patologis, egoistis, tidak bertanggung jawab, kriminil, sadis, dan lain-lain), itu jelas mencerminkan adanya masyarakat yang sakit. Dengan kata lain, masyarakat yang sakit akan memprodusir pemimpin-pemimpin yang sakit pasti akan memunculkan masyarakat yang sakit, yang dipenuhi banyak konflik, disorganisasi dan disfungsi sosial.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu kepemimpinan publik?

2.      Apa itu pemimpin demokratis?

3.      Apa itu kepemimpinan Abnormal?

 

C.    Tujuan Makalah

1.      Untuk mengetahui apa itu kepemimpinan publik

2.      Untuk mengetahui apa pemimpin demokratis

3.      Untuk mengetahui apa itu kepemimpinan abnormal

4.      Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teori Administasi Negara

 

D.    Manfaat Makalah

1.      Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kepemimpinan

2.      Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemimpin demokratis dan kepemimpinan abnormal

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Kepemimpinan dan Publik

Gary Yukl (1994:4) dalam buku Harbani Pasolong (2011:111) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses mempengaruhi, yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa bagi para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau organisasi, perngorganisasian dari aktivitas-aktivitas kerja untuk mencapai sasaran- sasaran tersebut, motivasi dari para pengikut untuk mencapapi sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada diluar kelompok atau organisasi.

Grunig and Hunt (1984)dalam buku Keith Butterick (2013:29) Sepanjang sekelompok orang memiliki kesamaan kepentingan atas isu tertentu, dan bersama-sama bergabung karena dengan sukarela maka secara kolektif mereka disebut ‘publik’.

Grunig dan Hunt mendefinisikan empat tipe ‘publik’, yaitu:

1.      Non-Publik – organisasi tidak memiliki kepentingan terhadap kelompok dan sebaliknya, kelompok tidak memiliki kepentingan terhadap organisasi.

2.      Latent public – kelompok menghadapi acaman bersama dari organisasi, namun mereka tidak menemukan permasalahannya.

3.      Aware public – kelompok memahami adanya permasalahan bersama.

4.      Active publik – kelompok yang menyadari adanya satu masalah, kemudian berkoordinasi untuk menghadapinya dan menetapkan tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Menurut definisi yang dirumuskan oleh IPR dalam buku Public Relation edisi keempat hlm.71 , istilah khalayak sengaja dituangkan dalam istilah bermakna majemuk, yakni publics. Hal ini dikarenakan berbeda dari yang diindaskan oleh defenisi dari beberapa kamus tertentu kegiatan-kegiatan humas tidak diarahkan kepada khalayak dalam pengertian yang seluas-luasnya (masyarakat umum). Dalam kalimat ini, kegiatan-kegiatan humas tersebut khusus diarahkan kepada khalayak terbatas atau pihak-pihak tertentu yang berbeda-beda, dan masing-masing dengan cara yang berlaian pula. Penyebaran suatu pesan humas tidak dilakukan secara pukul rata kesemua orang seperti halnya pesan-pesan iklan. Dalam memilih khalayak, humas lebih diskriminatif. Unsur atau segmen tertentu sengaja dipilih untuk lebih mengefektifan penerimaan pesan-pesan.

Setiap organisasi memiliki sendiri khalayak khususnya. Kepada khalayak yang terbatas itulah ia senantiasa menjalin komunikasi, baik secara internal maupun eksternal. Sampai disini kiranya sudah cukup jelas bahwa suatu organisasi atau perusahaan tidak hanya menyelenggarakan komunikasi dengan staf atau konsumennya saja.

 

B.     Pemimpin Demokratis

Pemimpin demokratis dapat digolongkan menjadi dua yaitu, pemimpin demokratis tulen dan pemimpin demokratis palsu/pura-pura (pseudo-demokratis).

1.      Pemimpin Demokratis Tulen

Pemimpin demokratis tulen itu merupakan pembimbing yang baik bagi kelompoknya. Dia menyadari bahwa tugasnya ialah mengkoordinasikan pekerjaan dan tugas dari semua anggotanya, dengan menekankan rasa tanggung jawab dan kerja sama yang baik kepada setiap anggota. Dia tahu bahwa organisasi atau lembaga bukanlah masalah “pribadi atau individual”; akan tetapi kekuataan organisasi terletak pada partisipasi aktif setiap anggota. Dia mau mendengarkan nasihat dan sugesti semua pihak; dan mampu memanfaatkan keunggulan setiap orang seefektif mungkin pada saat-saat yang tepat.

Dia sadar, bahwa dia tidak mampu bekerja seorang diri. Karena itu dia perlu mendapatkan bantuan dari semua pihak. Dia memerlukan dukungan dan partisipasi dari bawahannya; perlu mendapatkan penghargaan dan dorongan dari atasan, dan butuh mendapatkan support/dukungan moril dari teman sejawat yang sederajat kedukungannya dengan dirinya.

 

Dengan demikian, organisasi yang dipimpinnya akan terus berjalan lancar sekalipun dia tidak ada di tempat. Sebab otoritas sepenuhnya dideligasikan ke bawah, sehingga semua orang merasa pasti dan aman; juga merasa senang menunaikan tugas-tugasnya.

Kedudukan pemimpin demokratis bisa digambarkan dengan skema dibawah ini.

Penghargaan dan bantuan

bantuan

bantuan

dukungan

 

Pemimpin yang demokratis itu bisa berfungsi sebagai katalisator yang bisa mempercepat proses-proses secara wajar, dan membantu pencapaian objek yang ingin dicapai dengan cara yang paling sesuai cocok dengan kondisi kelompok tersebut.

Pada kepemimpinan yang otokratis, pemimpin memaksakan rencananya tanpa berkonsultasi kepada kawan-kawannya, dan tidak pernah menjelaskan isi sepenuhnya dari rencananya. Dia mengkomandokan setiap langkah, tanpa menghiraukan sama sekali tata-kerja yang paling sesuai dengan aspirasi kelompoknya, tidak memperhitungkan iklim emosional kelompok serta bentuk kerja kooperatif.

Timbullah kemudian reaksi agresivitas yang ditujukan kepada pemimpin; atau diarahkan kepada kawan sekerja yang lemah (dalam posisi lemah). Bahkan tidak jarang mereka juga melontarkan agresivitas terhadap benda-benda mati; misalnya dengan jalan:

1)      Merusak barang-barang milik organisasi;

2)      Mengadakan sabotage;

3)      Mencuri barang-barang, pesawat-pesawat, onderdil, dan lain-lain;

4)      Munculnya apati total dari bawahan atau anak buah;

5)      Orang jadi suka membolos, tidak masuk kerja tanpa mengemukakan alasan yang wajar (absensiisme tinggi);

6)      Orang dengan sengaja datang terlambat ke kantor/dinas;

7)      Meninggalkan tugas, desersi;

8)      Bersikap acuh tak acuh, dan lain-lain;

·         Maka agresivitas yang memuncak bisa menimbulkan pemogokkan dan huru-hara

Sebaliknya, pemimpin demokratis biasanya dihormati dan dihargai. Dia dianggap sebagai simbol kebaikan dan “orang sendiri”, karena ia bersedia bekerjasama dengan semua anggota kelompok. Pemimpin demokratis ini tidak berusaha menjadi majikan. Semua anggota kelompok suatu ingin bertemu muka dan bertukar pikiran dengan dirinya yang dianggap sangat simpatik. Semua prestasi kerjanya selalu dinilai dengan kriteria “hasil kami bersama-sama” “modal kami”, “hasil musyawarah bersama”. Ringkasnya bentuk-bentuk kesuksesan selalu diungkapkan dalam bentuk kerjasama atau bentuk kekamian. Khususnya superioritas kepemimpinan demokratis itu ialah:

·         Kemampuan mengumpulkan banyak informasi dan kebijaksanaan dari semua anggota kelompok, dan bisa memanipulir semuanya dengan efektif.

Setiap kelompok sosial pasti memiliki pola tingkah-laku yang sesuai dengan tipe kepemimpinan yang mengaturnya; dan pasti tidak bergantung pada sifat-sifat individual setiap anggota kelompok. Pada kepemimpinan demokratis, ada ditanamkan disiplin oleh kelompok itu sendiri dalam suasana yang demokratis. Sedang pada kepemimpinan yang otokratis, disiplin pada umumnya dipaksakan oleh atasan, atau dipaksakan secaraa eksternal; biasanya disertai ancaman atau sanksi-sanksi tertentu.

 

Kepemimpinan yang demokratis itu dalam situasi yang normal, keadaannya lebih superior daripada kepemimpinan laissez-faire dan otoriter. Sebab utamanya ialah:

-          Orang bisa menghimpun dan memanfaatkan semua informasi dan kearifan dari semua anggota kelompok;

-          Orang tidak menyandarkan diri pada kepandaian atau kemampuan pribadi pemimpin saja.

Dalam kepemimpinan demokratis ada penekanakan pada disiplin-diri, dari kelompok untuk kelompok. Maka delegasi otoritas dalam iklim demokratis itu bukan berarti hilangnya kekuasaan pemimpin, tetapi justru memperkuat posisi pemimpin yang didukung oleh semua anggota. Dan pemimpin bisa mengkristalisasikan pikiran serta aspirasi dari semua anggota kelompok dalam perbuatan nyata. Semua permasalahan dihadapi dan dipecahkan secara bersama-sama. Ia juga mengutamakan kerja kooperatif untuk tujuan:

1)      Pemupukan gairah kerja,

2)      Peningkatan produktivitas,

3)      Peningkatan modal,

4)      Usaha perbaikan kondisi sosial pada umumnya.

Dengan demikian bisa dipahami, bahwa kepemimpinan demokratis itu pada umumnya adalah lebih superior daripada kepemimpinan otokratis dan laissez-faire.

 

2.      Pemimpin Demokratis Palsu/Pura-Pura (pseudo-demokratis)

Pada umumnya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut; dia memang berusaha untuk bersikap demokratis. Akan tetapi, karena dia berkarakter lemah, merasa selalu bimbang dan tidak mempunyai pendirian, maka penampilannya tidak jauh berbeda dengan si “baby autocrat” (oktorat bayi). Bedanya ialah: pemimpin pseudo demokratis ini sifatnya lebih sentimentil. Dia sering merasa “berdosa” dan ingin bertobat. Dan pada saat-saat dia berhenti lapang, ia menganggap semua orang sebagai “orang sendiri/dalam”, dengan semboyan “kita semua adalah satu keluarga besar yang bahagia”. Sedang pada saat-saat dia behati buram, maka muncullah kemunafikan dan macam-macam sifat kelicikan.

 


 

C.    Kepemimpinan Abnormal

Jangan hendaknya kita mengidealisir tokoh pemimpin dengan sebutan-sebutan: gagah perwira, bagus, berkepribadian sekokoh banteng, dengan mata magnetis, dan suara menggelegar bagaikan guruh di langit, berwibawa, jujur seperti dewa, dan atribut lainnya. Sebab semua itu adalah “wishful thinking”.

Yang paling penting bagi kita ialah:

1)      Kita memerlukan pemimpin yang baik dan bijaksana penuh peri kemanusiaan,

2)      Tidak menempatkan individu-individu yang egoistis dan overambisius yang selalu mementingkan interest sendiri dan gila kekuasaan sebagai pemimpin,

3)      Lebih-lebih lagi tidak mengangkat seorang pemimpin yang tidak mampu mengemban tanggung jawab.

Sebab, orang yang gila kekuasaan itu adalah orang yang sakit, yang ingin mengkompensasikan sifat-sifat bawaannya yang inferior ke dalam bentuk penguasaan terhadap orang lain.

Gila kuasa ini erat kaitannya dengan delinquency/kejahatan; sebab delinquent itu selalu cenderung memaksakan keinginan sendiri agar semua orang berbuat seperti yang diperintahkannya, tanpa mengindahkan hak-hak dan kebebasan insani orang lain.

Merampas hak orang lain, dan melanggar martabat orang lain itu pada umumnya dicapainya dengan jalan kriminil untuk mendapatkan posisi sosial, kekuasaan besar, dan lisensi-lisensi khusus secara legal. Juga untuk memuaskan ambisi-ambisi pribadinya, tanpa tantangan dari siapapun juga. Dengan sembunyi-sembunyi, kekuasaannya dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri, dengan akibat: sangat merugikan orang banyak.

Memang, struktur masyarakat modern di alam demokrasi memungkinkan individu-individu yang sangat ambisius (bahkan paling ambisius) untuk menduduki kursi kepemimpinan paling tinggi. Penonjolan diri sendiri untuk menjabat kursi kepemimpinan itu biasanya merupakan kompensasi dari inferioritas dan kekerdilannya. Yaitu mengkompensasikan defisiensi atau kekurangannya dalam bentuk-bentuk superioritas, justru pada bidang dimana dia benar-benar merasa inferior disitu. Usaha kompensatoris ini ada kalanya berhasil, dan bisa diselimuti dengan rapi. Tetapi biasanya orang yang bersangkutan justru malah mengalami kegagalan total, dan memperlihatkan “keaslian efeknya”. Oleh sebab itu orang-orang yang memiliki ciri-ciri bawaan fisik dan mental yang inferior biasanya “bernafsu sekali untuk menjadi seorang big boss” (majikan besar) dengan kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.

Kompetensi yang wajar untuk mengimbangi inferioritas tertentu adalah wajar dan sehat. Akan tetapi, apabila defek atau ciri-ciri inferior itu begitu parah, maka oknum yang bersangkutan biasanya cenderung melakukan overkompensasi. Misalnya, ahli bedah yang sadistis (namun tidak menyadari kesadisan sendiri), pada umumnya ingin membedah pasiennya, walaupun akhirnya tidak perlu. Psikiater yang neurotis akan cenderung memproyeksikan sifat-sifat mentalnya yang ganjil pada pasien-pasiennya.

Sehubungan dengan semua tadi, efisiensi kepemimpinan itu jangan hanya diukur dengan kriteria materiil-finansiil dan prokdutivitas yang menguntungkan organisasi saja, akan tetapi lebih dikaitkan dengan:

1)      Tujuan human/atau manusiawi apa; serta

2)      Ongkos materiil dan ongkos immateriil seberapa besar sudah dikeluarkan  oleh organisasi atau lembaga.

            Betapapun juga panda dan efesiennya seorang pemimpin dalam satu bidang teknis, bila dia tidak memiliki keterampilan sosial untuk menjalin komunikasi human dengan bawahan dan anggota kelompoknya, pastilah orang sedemikian itu bisa membahayakan kehidupan lembaga atau organisasinya. Sebab, dia pasti akan:

1)      Merusak iklim psikis yang baik;

2)      Menurunkan produktivitas dan kegairahan kerja;

3)      Menambah frustasi para anggota;

4)      Memperbanyak penderitaan lahir batin;

5)      Menimbulkan penderita-penderita neurosa(ketidakseimbangan mental atau stress tetapi tidak mempengaruhi pemikiran rasional) di kalangan pengikutnya;

6)      Menambah agresifitas anak buahnya;

7)      Menimbulkan banyak konflik terbuka dan tertutup;

8)      Menyebabkan banyak keresahan sosial, dan lain-lain.

                Banyak para pemimpin di tanah air, baik yang ada di tingkat eselon (tingkat jabatan struktural) bawah maupun tingkat eselon (tingkat jabatan struktural) atas terheran-heran dan tersedih bingung, sebab menemukan banyak orang luar dan para pengikutnya yang tidak terdisiplin dalam bekerja, santai-santai, tidak bersemangat, berbuat semau sendiri, melakukan sabotage, dan berbuat kriminil. Juga banyak anak muda yang suka bersantai-santai, bersenang-senang melulu, mabuk-mabukkan, dan melakukan kejahatan.

Memang ada individu-individu tertentu yang berperangai malas, bermental buruk, dan mempunyai kecenderungan-kecenderungan kriminil yang herediter         (sebagai warisan sejak lahir), sehingga mereka selalu saja bertingkah laku asusila. Akan tetapi kebanyakan orang itu tidak bersifat sedemikian; sebab pada umumnya mereka semua adalah warga negara yang baik, ibu dan ayah yang open, suami istri yang setia, warga-desa atau warga-kampung yang patuh dan anak-anak muda yang riang-bahagia. Maka hanya situasi dan kondisi sosial yang luar biasa sajalah yang bisa mengakumulasikan sekumpulan masyarakat yang bertabiat buruk dan patologis secara sosial.

Sehubungan dengan itu, hendaknya diharapkan para pemimpin dan manajer memahami, bahwa jika kebanyakan dari rakyatnya (pegawai, buruh, orang-orang muda, wanita, warga-kota, rakyat dan lain-lain) itu bertingkah-laku deviatif menyimpang secara sosial, abnormal penampilannya dan kriminil tindakannya, supaya dicari sebab-musababnya pada kondisi dan situasi sosial yang diciptakan sendiri oleh para pemimpindan para manajer itu.

 

 

Selanjutnya, etik pemimpin yang tidak dapat diingkari itu ialah :

1)      Ia bertugas untuk memimpin, mengatur, mengelola, memanage dengan penuh rasa tanggung jawab;

2)      Mengarahkan kelompok atau lembaga yang dipimpinnya kepada tujuan ekonomis dan tujuan sosial/kesejahteraan, dan mengarah pada peningkatan martabat manusia.

Jika para manager dan pemimpin bersikap egoistis, tidak mau bersikap kooperatif, tidak bersedia memberikan korban dan cuma ingin mencari untung melulu, maka organisasi pasti menjadi kacau berantakan, dan tujuan tidak bisa tercapai. Pemimpin sedemikian akan banyak menyebar keresahan, ketakutan, kecemasan, kesedihan dan kesengsaraan lahir-batin di tengah anak buahnya dan di kalangan masyarakat.

Jika para pemimpin hanya berkepentingan dengan pemupukan kekayaan, kekuasaan dan kesenangan sendiri, dan membenarkan praktek-praktek eksploitatif(pemerasan) habis-habisan terhadap rakyat yang tidak berdaya, ditambah dengan tindak-tindak koruptifnya yang terus berkelanjutan, maka jangan kita terkejut kalau sebagian dari rakyat yang dipimpinnya menjadi apatis letargis. Sebagian lagi juatru menjadi agresif, lalu bertindak semau sendiri, tidak mematuhi hukum serta norma-norma yang sudah ditetapkan. Dan kekacauan umum serta kriminalitas akan menjadi semakin meraja-lela di tengah masyarakat.

Jika di satu pihak para penguasa dan pengusaha, bankir-bankir kaya dan kapten industri hanya berkepentingan dengan eksploitasi para buruh serta rakyat, dengan pemupukan uang, serta hidup bermewah-mewah di tengah rakyat yang miskin sengsara; sedang di lain pihak buru serta rakyat kecil merasa terhisap tidak berdaya, menjadi semakin tidak puas dan terus-menerus didera kemiskinan kronis, maka jangan kita heran kalau situasi masyarakat menjadi sangat eksplosif dan setiap saat dapat meletus revolusi sosial yang dahsyat.

Contoh yang tepat dari pemimpin abnormal ialah: Hitler, yang menderita kegilaan paranoia. Secara tepat dia merefleksikan aspirasi dan perasaan orang-orang Jerman yang ingin bangkit kembali sesudah kekalahan dalam perang dunia ke-1 sebagai satu super-nation, yang kemudian membawa Jerman kepada kehancuran; serta menyebar malapetaka yang tidak terperkirakan besarnya di kalangan bangsa-bangsa yang telah berperang.

Kelompok industrialis yang patologis dan agresif akan memilih seseorang agitator atau kapitalis yang super-ambisius dan kolonialistis sebagai pemimpinnya. Juga penguasa absolut keras adalah pemimpin yang pada dasarnya mendominir lingkungannya, dan berlaku sebagai pemain orkes tunggal, berambisi merajai situasi, selalu memaksakan keinginannya dengan tangan besi dan harus selalu ditaati. Dia tidak menghendaki pertanyaan dan oposisi. Lagi pula sikapnya selalu menjauhi kelompoknya ia menyisihkan diri karena merasa “super”. Penguasa absolut keras ini mirip seorang sersan-mayor “baik” dengan semboyan “semua beres” jika anak buah mampu mengerjakan sesuatu; dan akan “membuat dunia menjadi neraka” jika bawahannya gagal melakukan tugas-tugasnya.

Ada pula pemimpin simbol kedudukannya sebagai kepala, direktur atau ketua dewan diperolehnya melalui sistem nepotisme (sistem yang mendahulukan atau memprioritaskan sanak keluarga terlebih dahulu), penyogokan, penyuapan atau membeli. Dia tidak memiliki keterampilan teknis dan sebagian besar dari waktunya dikantor habiskan untuk menemui tamu-tamu, berbincang-bincang mengenai politik dan makan-makan enak dengan kawan-kawan sekelompok atau in-group dalam suasana meriah. Tugas-tugas yang di harus dilaksanakan sebenarnya ada diluar kemampuannya. Semua tanggung jawab dan pekerjaan yang rumit rumit diserahkan pada bawahan. Jawatan atau organisasi yang dibawahnya berjalan tanpa kontrol dan tanpa koordinasi sehingga pada hakekatnya kacau-balau mirip sebuah ular tanpa kepala.

Yang disebut sebagai pemimpin kompensasi adalah individu yang selalu merasa dirinya inferior, namun bernafsu sekali untuk memimpin, menunjukkan “kelebihannya” dan mendominir orang lain dia selalu merasa senang bila ada bawahan yang bisa dikorbankan (korban dari kekuasaannya). Dengan macam-macam cara dia berusaha mengiklankan diri sendiri dan memaksakan keinginannya. Inilah pemimpin abnormal yang mengidap sakit mental, neurosis(ketidakseimbangan mental atau stress tetapi tidak mempengaruhi pemikiran rasional),memiliki kecenderungan kriminil, “pemain pentas” yang eksentrik, haus kekuasaan, dan selalu bersikap “sok” atau bersikap narsistis.

 

Jika mendapatkan kritik dan oposisi,pemimpin-pemimpin “kompensasi” tadi lalu menjadi agresif dan regresif. Agresifnya berwujud: mudah menjadi marah hebat, bertindak sewenang-wenang dan kejam menteror dan metiranisir bawahan sebagai kompensasidari rasa tidak berdaya, kekerdilan dan kecemasannya. Emosinya sering meledak-ledak tanpa dikendali, sehingga mengganggu fungsi inteligensi dan memerosotkan harga dirinya. Tidak jarang dia bertingkah laku sadis dan kejam, sehingga menimbulkan sakit hati dan banyak kesengsaraan di kalangan luas.

Memang masyarakat yang menganut paham demokrasi memberikan banyak kesempatan kepada individu-individu ambisius dan tidak malu-malu mendesakkan diri ke atas untuk menjadi pemimpin-pemimpin, walaupun mereka itu jelas tidak mampu. Namun jangan dilupakan, bahwa orang-orang yang overambisius, gila-kekuasaandan tidak wajar itu adalah orang yang sakit. Pada umumnya mereka itu ingin mengkompensasikan beberapa sifat pembawaan yang inferior ke dalam bentuk penjajahan/penguasaan terhadap orang lain; bahkan bernafsu sekali untuk menjadi maharaja. Maka panggung politik itu dengan tepat menyediakan arena bermain kepada mereka untuk berperan sesuai dengan “penyakit” yang diidapnya.

Kita lihat pula banyaknya pemimpin-pemimpin di masa sekarang yang bersifat “pagi-sore”. Jika pagi yang mengumandangkan terhapusnya kemiskinan dan penderitaan rakyat, serta mengatasnamakan diri sendiri sebagai pembela rakyat yang tertindas. Namun pada sore hari ia menggunakan norma kehidupan jet-set dengan kekayaan bermilyar-milyar sebagai norma refensi. Lidahnya menganjurkan kesederhanaan pengorbanan dan ketulusan namun perut dan gaya hidupnya adalah “kantong nasi kapitalis” dan gaya “orang kaya baru” yang angkuh dan alergi terhadap rakyat.

Kepribadian pemimpin itu merupakan variabel yang tidak mudah atau tidak dapat dikontrol dan dikendalikan. Pribadi pemimpin yang otoriter, dogmatis, sangat kaku atau fixed dan tidak memiliki kepercayaan-diri, biasanya menyebarkan banyak frustasi, kecemasan dan konflik di kalangan anak buahnya. Memang ada kalanya kepemimpinan dengan otoritas ketat yang sangat restriktif itu pada saat-saat tertentu bisa menjadi alat koordinasi dan alat kontrol yang efisien untuk menegakkan orde. Khususnya pada masa-masa darurat penuh kemelut dan bahaya. Namun otoritas restriktif ini tidak boleh berlangsung terlalu lama, supaya tidak menyebarkan bibit-bibit ketakutan, frustasi ketegangan-ketegangan emosional, konflik-konflik batin dan gangguan gangguan mental lainnya.

Juga pribadi pemimpin-pemimpin yang neurotis (ketidakseimbangan mental atau stress tetapi tidak mempengaruhi pemikiran rasional) pasti menjadi sumber timbulnya konflik, oleh sikapnya yang aneh-aneh dan selalu mau menang sendiri. Pemimpin tipe ini sering menggunakan mekanisme pembelaan diri dan pembenaran diri yang negatif sifatnya. Sehingga tidak henti-hentinya mereka menyebarkan keresahan, ketidakpuasan, penderitaan, konflik-konflik terbuka dan sikap-sikap antagonistis bermusuhan. Pemimpin sedemikian pada umumnya selalu hidup dalam kecemasan dan melihat orang lain yang sedikit lebih pintar sebagai ancaman dan rivalnya; sehingga perlu rival-rival ini dijinakka, “dikebiri”, atau dimusnahkan dengan berbagai macam cara yang licik. Sebenarnyalah, bahwa kekurangan yang paling utama dalam iklim demokratis yang memberikan kebebasan pada sistem laissez-faire sebagai berikut:

1)      Iklim sedemikian ini memberikan banyak kesempatan kepada orang-orang yang belum tentu mempunyai kualitas paling baik untuk memanjat ke atas, dan menduduki fungsi paling puncak; biasanya dengan cara yang licik.

2)      Dalam sistem sosial dimana kekuasaan itu terbuka untuk semua orang, maka pos-pos yang mendukung kekuasaan itu pada umumnya diduduki oleh individu-individu yang over-ambisius dan haus kuasa. Yaitu orang-orang yang berbeda dengan orang biasa atau normal dalam selera dan kesukaan mereka untuk terus-menerus dengan gigih mau berkuasa.

Jika banyak pemimpin dan cendekiawan mengeluh karena terdapat amat sedikit tanggung jawab moral dari rakyat, disertai apatisme politik, sikap rakyat yang acuh tak acuh terhadap usaha pembangunan, dan ada kebiasaan bermalas-malasan atau bersantai-santai pada para pegawai negeri misalnya mereka bermain catur, membaca koran, main kartu, merokok, omong kosong di kantor, suka membolos, maka peristiwa ini jangan ditinjau dari sifat-sifat negatif masing-masing individu rakyat dan pegawai negeri tersebut akan tetapi hendaknya dilihat dari kesalahan manajemen atau kesalahan kepemimpinan.

Maka jalan terbaik untuk mendisiplinkan bawahan dan rakyat banyak itu adalah sebagai berikut:

1)      Para pemimpin harus memberikan kecintaan, pengorbanan, teladan, kejujuran dan kesederhanaan; sesuai lahir dengan batinnya, sesuai ucapan dengan tingkah-lakunya; mau bekerja keras untuk kesejahteraan bangsa/umum dan bukan untuk kemakmuran sendiri saja.

2)      Memberikan kesempatan kepada setiap anak buah dan rakyat untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang demokratis dalam lingkungan hidup dan pekerjaan sehari-hari, dengan jalan membiasakan mereka pada tatacara yang bertanggungjawab

3)      Menginsafkan setiap orang akan pentingnya tugas masing-masing, sehingga semuanya dapat diselesaikan dengan tertib dan berdisiplin

4)      Rakyat banyak itu harus diberi kesempatan untuk belajar bertanggung jawab secara moril/susila, demi kesejahteraan bersama; dan belajar berpartisipasi aktif dengan kesadaran dan disiplin-diri yang tinggi. Jika kepada rakyat tidak pernah diberikan pendidikan dan kesempatan belajar sedemikian itu, untuk selama-lamanya mereka akan mirip dengan mesin-mesin otomat atau robot-robot yang sering mogok dan rewel.

Sebagai penutup ini agar diketahui, bahwa iklim demokrasi dengan landasan Filsafat Pancasila sekarang ini jelas mendambakan adanya kesejahteraan dan keadilan yang lebih merata. Maka semakin otoriter dan tiranik para pemimpin pada eselon bawahan sampai paling atas dan di semua bidang semakin kuatlah tumbuhnya kebutuhan rakyat kecil untuk melontarkan oposisi. Yaitu beroposisi secara konstruktif untuk mengubah keadaan sosial menjadi lebih baik lagi. Sehubungan dengan semua itu, iklim demokrasi dalam masyarakat kita yang pluriform(bineka) itu tidak mungkin dapat tercapai (a) tanpa melalui komposisi dan konflik-konflik dan (b) tanpa adanya kesediaan untuk berkorban pada setiap diri warga negara khususnya para pemimpin demi pencapaian tujuan kesejahteraan “Jer basuki mawa bea:, jika hendak sejahtera sentosa, maka diperlukan korban dan biaya. Oposisi dan konflik-konflik itu akan bersifat positif membangun, apabila dilandasi ketulusan hati masing-masing dan ide-ide kooperatif diantara para pemimpin serta pihak-pihak yang dipimpin.

 

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Didalam buku Kartono Kartini (1991:163) Kepemimpinan ialah satu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi; yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama.

Dalam kepemimpian setiap pemimpin memiliki sifat tersendiri untuk memimpin anggotanya, adapun pemimpin demokratis dapat digolongkan menjadi dua yaitu, a) pemimpin demokratis tulen, yang mana merupakan pembimbing yang baik bagi kelompoknya. Dia menyadari bahwa tugasnya ialah mengkoordinasikan pekerjaan dan tugas dari semua anggotanya, dengan menekankan rasa tanggung jawab dan kerja sama yang baik kepada setiap anggota. Dan b) pemimpin demokratis palsu/pura-pura (pseudo-demokratis), pada umumnya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut; dia memang berusaha untuk bersikap demokratis.

Akan tetapi, karena dia berkarakter lemah, merasa selalu bimbang dan tidak mempunyai pendirian, maka penampilannya tidak jauh berbeda dengan si “baby autocrat” (oktorat bayi). Bedanya ialah: pemimpin pseudo demokratis ini sifatnya lebih sentimentil. Dia sering merasa “berdosa” dan ingin bertobat. Dan pada saat-saat dia berhenti lapang, ia menganggap semua orang sebagai “orang sendiri/dalam”, dengan semboyan “kita semua adalah satu keluarga besar yang bahagia”.

Sedang pada saat-saat dia behati buram, maka muncullah kemunafikan dan macam-macam sifat kelicikan. Sedangkan, kepemimpinan abnormal maksudnya adalah yaitu suatu cara pemimpin yang memimpin anggotanya yang tidak sesuai atau diluar batas kenormalan yang terjadi dan tidak seperti biasa pada pemimpin umunnya.


 

B.     Saran

Sebagai seorang pemimpin dalam suatu kelompok tertentu sebaiknya kita melaksanan tugas kepemimpinan dengan baik dan benar serta tetap bertanggung jawab atas apa yang kita kerjakan sebagai seorang pemimpin, agar kelompok yang kita pimpin tidak menimbulkan suatu konflik yang berakibat buruk bagi kelompok itu sendiri maupun kelompok yang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Iman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan

Makalah AD & ART Muhammadiyah - Kemuhammadiyahan II

Makalah Karya Monumental Umat Islam dalam Perkembangan IPTEKS - Kemuhammadiyahan III